TABS

Sabtu, 15 September 2012

TAFSIR, PENIDIKAN AKHLAK DALAM PEMBANTUKAN KARAKTER DAN MORAL ANAK



TEMA  PENDIDIKAN
PENDIDIKAN AKHLAK DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER DAN MORAL  ANAK

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ãNä3RÉø«tGó¡uŠÏ9 tûïÏ%©!$# ôMs3n=tB óOä3ãZ»yJ÷ƒr& tûïÏ%©!$#ur óOs9 (#qäóè=ö7tƒ zNè=çtø:$# óOä3ZÏB y]»n=rO ;Nº§tB 4 `ÏiB È@ö7s% Ío4qn=|¹ ̍ôfxÿø9$# tûüÏnur tbqãèŸÒs? Nä3t/$uÏO z`ÏiB ÍouŽÎg©à9$# .`ÏBur Ï÷èt/ Ío4qn=|¹ Ïä!$t±Ïèø9$# 4 ß]»n=rO ;Nºuöqtã öNä3©9 4 š[øs9 ö/ä3øn=tæ Ÿwur öNÎgøŠn=tæ 7y$uZã_ £`èdy÷èt/ 4 šcqèùº§qsÛ /ä3øn=tæ öNà6àÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# ãNä3s9 ÏM»tƒFy$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÅ3ym ÇÎÑÈ  
58. Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu . Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[1]

A. Latar Belakang Masalah
Dalam islam, ibadah tidak hanya terrbatas pada amalan spiritual. Tetapi meliputi semua aspek kehidupan seseorang. Orang tua harus yakin bahwa anak anak mereka mengembangkan karakter karakter dan perilaku yang sesuai dengan islam. Pendidikan psikologi berkaitan dengan masalah jiwa dan segala hal yang harus diajarkan orang tua kepada anak dalam rangka membangkitkan sikap sikap yang baik, kebersihan, perilaku yang bersemangat dan berani serta kesadaran akan tanggung jawab.[2]
Upaya lain yang dapat di lakukan orang tua dalam  kaitannya dengan perannya sebagai pengantisipasi dekadensi moral pada anak adalah pendidikan akhlak, berkaitan dengan dekadensi moral yang semakin merajalela. Dewasa ini seperti penyimpangan perilaku seksual. Dalam hal ini orang tua harus berupaya mengatasinya dengan cara anak anak tidak boleh bebas keluar masuk kamar orang tua. Karena orang tua merupakan panutan bagi anak, maka apappun yang dilakukan orang tua dianggapnya baik.[3] Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat mengenai upaya yang dilakukan orang tua dalam menghadapi masalah ini. Diantaranya terdapat QS. An-Nur :58 yang menerangkan tentang adab pergaulan dalam rumah tangga.
Para pendidik atau orang tua mesti mengambil etika Al Quran dalam meyakinkan anak didiknya sejak ia mengerti tentang adab-adab meminta izin, jik reka menginginkan anak didiknya maupun keluarganya memiliki akhlak-akhlak utama dan kepribadian Islami yang beersinar dan juga perilaku sosial yang baik.[4]
Meminta izin adalah etika yang menjadi kewajiban bagi semua muslim, dewasa maupun anak-anak. Etika ini mendapat tempat yang khusus dalam syriat Islam. Sehinnga Allah mengkhususkannya dengan ayat-ayat yang bisa dibaca sepanjang generasi, sepanjang waktu, dan memiliki perhatian yang besar dalam kehidupan sosial dan keluarga.[5]
B. Asbabun Nuzul
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa turunnya ayat di atas ketika Rasulullah pada suatu hari di waktu dzuhur menyuruh seorang budak bernama Mudlik pergi kepada Umar yang kebetulan sedang tidur. Budak itu setelah mengetuk pintu terus masuk. Umar terjaga dari tidurnya sedang sebagian anggota tubuhnya terbuka. Di saat itu Umar berkata: Mudah-mudahan Allah mencegah orang-orang tua kami, anak-anak kami dan pelayan-pelayan kami, masuk ke kamar kami pada waktu ini, tanpa izin. Kemudian Umarpun pergi kepada Rasulullah dan di sana Uma rmendengar ayat ini diturunkan. Lalu Umarpun bersujud syukur.[6]
Karena itu turunlah ayat ini, supaya para kerabat yang masih kecil-kecil dan budak-budak belian harus meminta izin bila masuk kedalam kamar pada 3 waktu(sebelum subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian kamu ditengah hari, dan sesudah sholat isya’) yang menjadi aurat bagi penghuni kamar.
C. Tafsir Mufrodat
Kataليستأ ذ نكم  berasal dari kata ل = lam ta’lil yang ketika digabung dengan fi’il mudlori’ , artinya supaya dan kata يستأ ذ ن merupakan fi’il mudlori’ yang berasal dari ستأ ذ ن ا (yang berarti meminta izin) كم merupakan khitob yang ditujukan kepada orang banyak.
Kata (عورات) terambil dari kata (عار) yakni aib atau sesuatu yang tidak pantas. Kata ini pada mulanya berarti sesuatu yang kurang atau cacat. Karena itu seseorang yang buta salah satu matanya dinamai (أعور). Dari segi hukum ia dalah bagian tubuh manusia yang harus ditutup, tidak boleh dilihat oleh orang lain. Namun demikian, ayat ini dapat mencakup segala yang dicakup oleh pengertian bahasa itu. Karena bisa saja seseorang telah memakai pakaian yang menutup auratnya dari segi hukum, namun ia merasa malu terlihat dengan pakaian lusuh atau kotor.
Kata (بعضكم علي بعض) sebagian kamu atas sebagian yang lain, mengisyaratkan bahwa ketentuan hukum diatas berlaku secara timbal balik. Yakni para tuan pemilik hamba-hamba sahaya itupun harus “meminta izin” yakni memberi tahu tentang kehadirannya di tempat-tempat para hamba sahaya dan pembantu-pembantunya ketika mereka sedang dalam tempat-tempat khusus mereka.
D. Hadits Pendukung
Pada surat An Nur ayat ke 58 menerangkan tentang tata pergaulan dalam rumah tangga, dimana seorang budak atau hamba sahaya dan anak-anak yang belum baligh disuruh untuk membiasakan meminta izin apabila akan masuk kamar tuan rumahnya atau orangtuanya dalam 3 waktu, yaitu : sebelum sholat shubu, ketika orangtua melepaskan pakaian untuk istirahat di siang hari dan setelah isya’. Supaya terbiasa ketika ketika sudah baligh nanti, pendidikan akhlak harus ditanamkan sejak dini, khususnya pada permulaan usia 7-10 tahun. Karena masa ini merupakan fase yang sangat penting untuk memperhatikan pertumbuhan jasmani akal dan kejiwaan anak. Fase ini juga dianggap sebagai dasar bagi seluruh perkembangan selanjutnya. Hal ini sangat berhubungan dengan sabda Rasulullah saw yang menerangkan tentang perintah sholat terhadap anak ketika sudah berumur 7 tahun, hadits tersebut adalah:
وعن عمر بن شعيب عن أبيه عن جده قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مرو أولادكم باالصلاة وهم أبنأ للسبع سنين, وأضربوهم عليها و هم أبنأ عشر, و فرقوا بينهم في المضاجع (روه أبو داود)
Artinya : “ Dari Amr Ibn Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya dia berkata : Rasulullah saw bersabda “ Suruhlah anak-anakmu mengerjakan sholat sedang mereka berumur 7 tahun dan pukullah mereka karena meninggalkannya sedang mereka berumur 10 tahun. Dan pisahlah diantara mereka itu dari tempat tidurnya  (HR. Abu Daud)[7]
Ketika anak bermur 7 tahun, orangtua harys mengajarkan kepadanya bagaimana cara berwudlu dan mengerjakan shalat. Bagaimanapun juga, orang tua harus menjelaskan kepada anak-anak sebelum berumur 7 tahun bahwa mereka diharapkan untuk memulai shalat pada umur 7 tahun.[8] Serta memukulnya ketika sudah berumur 10 tahun apabila dia menunggalkannya. Karena Nabi tidak mengizinkan memukul anak sebelum berusia 10 tahun atas kesalahannya.
E. Gagasan/ Ide Pokok
1. Teori Esensialis
Salah seorang tokoh psikologi yang memberi pengaruh terhadap proses pembelajaran dengan menggunakan kebiasaan adalah Edward Lee Thorndike yang  terkenal dengan teori Connectionisme (koneksionisme) yaitu belajar terjadi akibat adanya asosiasi stimulus dengan respon stimulus akan memberi kesan pada panca indra, sedangkan respon akan mendorong seseorang untuk bertindak.

a)    Biografi Edward Lee Thorndike
Edward L Thorndike adalah tokoh aliran fungsionalisme Kolumbia. Ia lahir di Williamsburg pada tanggal 31 Agustus 1874 dan meninggal pada tanggal 10 Agustus 1949 di Montrose, New York. Thorndike mengikuti kuliah di Universitas Wesleyen, Connecticut di Harvard dan Columbia. Kecuali pada tahun 1898-1899 di Western Reserve, sesudah itu ia bekerja di Teacher’s College of Columbia di bawah pimpinan James Mekken Cattel. Ia terkenal dalam karya awalnya mengenai proses belajar binatang, dan untuk pelopornya dalam bidang psikologi pendidikan.
 Minat awalnya mengenai cara belajar binatang mencapai titik puncak dalam perkembangan teorinya mengenai belajar trial and error learning. Dia juga terkenal sebagai seorang perintis dalam perkembangan pengukuran mental, himpunan kata-kata yang berlangsung paling sering dalam bahasa inggris. Dalam tiga bukunya Educational Psychology (1912-1914) ia menerapkan pengetahuannya mengenahi prinsip-prinsip dasar beajar pada pemecahan masalah-masalah, dalam spikologi pendidikan penerbitan lainnya ialah Animal Intellegence (1911). The Psychology of Learning (1914). The Measurment of intelegence (1926) and Human Nature and the Social order (1940). Banyak detail tentang teori Thorndike mengenai belajar Tril and Error masih terus dipertanyakan dalam penelitian berikutnya, akan tetapi pakar kontemporer di bidang aktifitas belajar menggolongkan Thorndike sebagai salah seorang figur paling besar di bidang psikologi yang pentig ini.[9]
b)   Teori koneksionisme (Connectionism)
Thorndike menjelaskan bahwa teori koneksionisme (stimulus respon) menekankan bahwa belajar terdiri atas pembentukan ikatan atau hubungan-hunbungan antara stimulus respon yang terbentuk melalui pengulangan. Pembentukan ikatan-ikatan ini dipengaruhi oleh frekuensi, resensi, intensitas dan kejelasan pengalaman, perasaan dan kapasitas individu, kesamaan situasi dan menghasilkan kepuasan atau reinforcement yang merupakan dasar dalam teori Connectionism (Oemar H Malik: 1992, hlm. 50)
c)    Latar belakang munculnya teori Koneksionisme
Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat didominasi oleh pengaruh dari Thorndike (1874-1949). Teori belajar Thorndike ini disebut dengan Connectionism karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebutt “Trial and Error” dalam rangka menilai respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang abtara lain, kucing, dan tingkah laku ana-anak dan orang dewasa.
Objek penelitian dihadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai aktifitas untuk merespon situasi itu, dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulusnya. Maka dari itu teori ini disebut koneksionisme.
2. Urgensi pendidikan akhlak/moral terhadap anak
Pendidikan akhlak dalam keluarga merupakan hal yang sangat penting setelah pendidikan iman. Dengan kata lain, pendidikan akhlak merupakan konsep dasar pendidikan Islam yang kedua. Akhlak tanpa tauhid dapat membuat orang tidak tahu akan tujuan hidupnya. Keutamaan akhlak dan tingkah laku merupakan salah satu buah iman yang meresap dalam kehidupan beragama anak. [10]
Akhlak atau moral adalah tabiat manusia anak-anak harus mendapatkan pendidikan moral yang baik dan utama agar ia tumbuh atas dasar moral tersebut dan menjadi remaja atas dasar sifat-sifat mulia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah melakukan sesuatu yang dianggap baik, seperti meminta izin ketika akan masuk dalam ruangan.
 Meminta izin adalah etika yang menjadi kewajiban bagi semua muslim, dewasa maupun anak-anak. Etika ini mendapatkan tempat yang khusus dalam syariat Islam sehingga Allah menyebutkan didalam Al Quran. Tidak hanya itu terdapat juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dalam al adab al mufrad dari Ubaid bin Umair, bahwa Abu Musa Al Asyari meminta izin kepada Umar bin Khatab. Namun, ketika itu Umar belum juga memberi izin dan sepertinya sedang sibuk, maka Abu Musa pun memutuskan untuk pulang. Ketika kesibukan Umar telah purna ia berkata bukankan aku mendengar Abdullah bin Qais (Abu Musa)?? Persilahkannya masuk! Keluarganya menyahut:”ia sudah pulang”. Lalu Umar memanggilnya.[11]
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa meminta izin merupakan akhlak atau etika yang perlu ditanamkan terhadap anak-anak sejak dini.
3. Pendapat Para Mufassir tentang ayat 58 dari Surat An Nur
a) Sayyid Quthb dalam tafsir Fi zhilalil Quran menyatakan bahwa dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang hukum-hukum meminta izin ketika berada di dalam rumah. Para pelayan dari budak-budak dan anak-anak yang telah dapat membedakan namun belum baligh, boleh masuk tanpa izin terlebih dahulu. Kecuali dalam waktu dimana biasanya aurat sedang terbuka. Maka, pada waktu- waktu tersebut mereka harus minta izin terlebih dahulu.[12]
b) Hamka dalam tafsir al-azhar menyatakan bahwa pada ayat 58 ini menjelaskan tentang sopan santun dalam rumah tangganya sendiri. Maksudnya, ayat ini mengakui dan menjaga kehormatan kepala-kepala rumah tannga itu. Seperti, kehormatan ibu bapak atau anggota rumah tangga yang lain. Pada waktu 3 aurat maka setiap hamba sahaya atau khadam,bujang-bujang, orang gajian atau pesuruh rumah itu sendiri, baik anak tuan rumah atau cucunya atau anak-anak lain yang dipelihara di dalam rumah itu meminta izin terlebih dahulu jika hendak menemui tuan atau nyonya rumah.
Dengan demikian, anak kandungnya sendiri wajib di didik menghargai waktu yang aurat itu. Konon lagi bagi oarang-orang lain. Kurang layak jika bertemu ke rumah orang orang di waktu begitu.[13]
c)Muhammad Nasib ar-rifa’i dalam tafsir ibnu katsir menyatakan bahwa ayat ini menjelaskan tentang permintaan izin kepada kerabat atau antar kerabat. Allah menyuruh kaum mu’min agar mereka memerintahkan kapeada budak-budak mereka dan anak-anak mereka ynag belum baligh dalam tiga kondisi, pertama, sebelum sholat shubuh, kedua, ketika menanggalkan pakaianmu di tengah hari, dan ketiga, sesudah sholat isya’.
Dengan demikian pelayan dan anak-anak dilarang masuk tanpa meminta izin terdahulu dalam 3 kondisi tersebut. Akan tetapi selain 3 kondisi tersebut Allah menyatakan tidak ada dosa bagi mereka. Karena mereka saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya.[14]
d) Muhammad Hasby Ash Shidiqy dalam tafsir Al Quranul Majid, menyatakan bahwa ayat ini menjelaskan tentang permintaan izin ketika akan masuk kamar. Seorang budak dan anak-anak harus meminta izin lebih dahulu untuk masuk kamar seseorang (dalam keluarga) dalam 3 waktu, yaitu sebelum sembahyang fajar, sesudah sembahyang isya’ dan di waktu kamu membuka pakaianmu di waktu dzuhur. Selain itu ayat ini menunjuk bahwa sedapat mungkin kita harus memperhatikan ilat-ilat hukum. Allah tidak membenarkan budak dan anak-anak kecil masuk ke kamar seseorang pada 3 waktu itu, karena menurut kebiasaan mereka tidak menutup seluruh auratnya.[15]
e) M. Quraih Shihab menyatakan dalam tafsir Al Misbah bahwa ayat ini berbicara tentang tuntunan-tuntunan yang berkaitan dengan sopan santun dalam pergaulan. Yaitu membiasakan untuk meminta izin terhadap anggota keluarga(terutama ayah dan ibu) ketika masuk kamar pada waktu-waktu tertentu. Agar mereka tidak menggangu privasi kamu dan memergoki kamu dalam keadaan kamu enggan terlihat. Karena itulah hendaknya sang budak dan anak-anak yang belum baligh meminta izin kepada kamu sebelum masuk kamar.[16]
f) Al Quran dan Tafsirnya (Departemen RI), menyatakan bahwa ayat ini menjelaskan tentang para hamba sahaya dan anak-anak kecil tidak diwajibkan meminta izin terlebih dahulu bila hendak masuk ke kamar tuan rumah atau anggota lainnya yang sudah dewasa kecuali pada waktu-waktu tertentu. Yaitu sebelum sholat shubuh, di waktu istirahat sesudah dhuhur dan di waktu istirahat panjang sesudah isya’.[17]
4. korelasi antara ayat dan teori pendidikan
Ayat yang menjelaskan akhlak sangat berkaitan sekali psikologi behavioristik dengan tokoh thorndike (1974-1949) dengan torinya yang biasa disebut teori connecsionisme yakni belajar terjadi akibat adanya asosiasi antara stimulu dan respon. Stimulus akan memberi kesan pada panca indra sedangkan respon akan mendorong seseorang untuk bertindak.
Teori belajar itu lebih menekankan pada tingkah laku manusia memandang individu sebagai makhluk relative yang memberi respon terhadap lingkungan, pengalaman, dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Teori ini mengutamakan unsur-unsur dibagian kecil bersifat mekenistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentuk reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementiongkan mekanisme hasil belajar, mementingkan kemampuan dan hasil belajar yang di peroleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori ini S-R (stimulus respon).
Thordike mengadakan eksperimen yaitu seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini di tata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut mem[peroleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi.[18]
Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka teki) iotu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mula mula kucing mengeong, mencakar, melompat, dan berlari larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada di depannay. Akhirnya entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puizzle box ini kemudian terkenal dengan nama instrumental conditioning.[19]
Prosedur Eksperimennya ialah membuat agar setiap binatang lepas dari kurungnya sampai ketempat makanan. Dalam hal ini apabila binatang terkurung, maka binatang itu sering melakukan bermacam macam kelekuan, seperti menggigit, menggosokkan badannya ke sisi sisi kotak, dan cepat atau lambat binatang itu tersandung pada palang sehingga kotak terbuka dan binatang itru akan lepas ketempat makanan.[20]
 Artinya tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki. Melalui hasil eksperimen inilah dia menyusun tiga hukum, salah satu diantaranya adalah hukum latihan (the low of exercise), selanjutnya hukum ini dibagi manjadi dua yaotu hukum penggunan ( the low of use ), dan hukum bukan penggunaan (the low of deuse). Sebaliknya semakin tidak memuaskan atau ( mengganggu) efek yang dicapai reson atau (perilaku), semakin lemah pula hubungan stimulus dan respon tersebut.[21]
Begitupun denga seorang anakyang dibiasakan meminta izin ketika mau masuk ruangan/kamar dapat dikiaskan teori Thorndike di atas yaitu ketika anak yang menginjak dewasa/ memasuki umur 10 tahun . dan ketika anak akan masuk kamar orang tua mereka wajib minta izin terlebih dahulu. Ketika mereka tidak mau minta izin setiap kali masuk, kita beri tahu bahwa hanya diwajibkan pada waktu-waktu tertentu saja yaitu, 3 waktu yang telah dijelaskan di atas. Pemberitahuan ini harus dilakukan secara terus menerus setiap kali emmasuki 3 waktu tersebut. Dengan begitu seorang anak akan terbiasa melakukannya jika akan masuk kamar orangtua. Jadi teori Edward Lee Thorndike aliran koneksionisme dapat diimplikasikan dengan mendidik akhlak anak untuk membiasakan meminta izin.
5. Pesan Moral
Dengan kita melihat tafsir dari ayat di atas, dapat diperoleh suatu hikmah dalam kehidupan keseharian kita , di antaranya:
·         Kita dapat mengetahui betapa pentingnya pendidikan akhlak terhadap anak.
·         Terjaga kehormatan Orang tua dan keluarga.
·         Tercipta keluarga yang aman dan tentram.
·         Membentuk pribadi muslim yang baik.
·         Dapat dijadikan contoh bagi keluarga lain.   
  
DAFTAR PUSTAKA
Departemen RI.  Al- Qur’an dan terjemahnya. Bandung: PT Syaamil Cipta Media , tt
Bin Muhammad Rahbar, Faramarz.  Raising Children  According to The Qur’an and Sunnah diterjemahkan oleh Kamdani. Yogyakarta: Mitra Pustaka. 1998
Rehani. Berawal dari Keluarga Revolusi Belajar Cara Al-Qur’an. Bandung: Mizan Media Utama. 2003
Halabi Hamdi, Muhammad. Cara Islam Mendidik Anak. Yogyakarta: Ar- Ruzz Media.  2006
Hasbi Ash- Shiddiqy, Teungku Muhammad. Tafsir Al-Qur’anul Majid an-Nur. Semarang : Pustaka Riski Putra Semarang. 1995
Arifin H, Bey dan Djamaludin A Syingithy. Terjemahan Sunan Abu Daud. Semarang : CV As Syifa. 1992
Laisaban, Ladislaus. Para Psikolog Terkemuka Dunia. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. 2004
Qutb, Sayyid.  Fi Zhilalil Qur’an diterjemahkan oleh As’ad Yasin dkk. Jakarta: Gema Insani.  2004
Hamka. Tafsir Al Azhar Juz 18. Surabaya: Yayasan Latimojong. 1998
Ar- Rifa’i, Muhammad Nasb. Tafsir Ibnu Katsir diterjemahkan oleh Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press. 2000
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbªh. Jakarta: Lentera Hati. 2004
Departemen RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang:PT Citra Effhar.1993
Yasin, Muhammad. Psikologi Perkembangan Dilengkapi Epittome dan Panduan Pemangfaatannya. Kediri: STAIN kediri PRESS. 2009
Boerce, C George. Sejarah Psikologi Dari Masa Kelahiran Sampai Masa Modern. Yogyakarta : Prismasophie. 2007
Brenan, James. Sejarah dan Sistem Psikilogi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2006
Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar. Jakarata : PT Raja Grafindo Persada. 2009


















[1] Departemen RI, Al- Qur’an dan terjemahnya(Bandung: PT Syaamil Cipta Media , tt) 358
[2] Faramarz bin Muhammad Rahbar, Raising Children  According to The Qur’an and Sunnah diterjemahkan oleh Kamdani(Yogyakarta: Mitra Pustaka,1998) 58
[3] Rehani,Berawal dari Keluarga Revolusi Belajar Cara Al-Qur’an(Bandung: Mizan Media Utama,2003) 166
[4] Muhammad Halabi Hamdi, Cara Islam Mendidik Anak(Jogjakarta: Ar- Ruzz Media, 2006) 159
[5] Ibid, 171-172
[6] Teungku Muhammad Hasbi Ash- Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid an-Nur(Semarang: Pustaka Riski Putra Semarang, 1995)2761
[7] Sunan Abu Daud, Kitab Ash-Shalah Bab Maka Yumaru Bi as-Shalah, jilid 1 hal 334, Terjemah hal 325
[8] Kamdani, 51
[9]Ladislaus Laisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia(Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia,2004) 377-378  
[10] Rehani, 91
[11] Muhammad Halabi, 172
[12] Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an diterjemahkan oleh As’ad Yasin dkk(Jakarta: Gema Insani, 2004) 260
[13]Hamka, Tafsir Al Azhar Juz 18(Surabaya: Yayasan Latimojong,1981) 264-265
[14] Muhammad Nasb ar- Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir diterjemahkan oleh Syihabuddin(Jakarta: Gema Insani Press, 2000) 521-522
[15] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al Qur’anul Majid An Nur(Semarang; P.T.Pustaka Grafis,1995) 2758-2759
[16] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbªh(Jakarta: Lentera Hati,2004) 394-395
[17] Departemen RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya( Semarang:PT Citra Effhar,1993) 666-667
[18] Muhammad Yasin, Psikologi Perkembangan Dilengkapi Epittome dan Panduan Pemangfaatannya(Kediri: STAIN kediri PRESS, 2009) 71
[19] Muhammad yasin, 71
[20] Hamzah B. Uno, Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran( Jakarta: Bumi Aksara, 2006) 7
[21] Muhammad yasin, 72