BAB I
Pendahuluan
A.
Latar belakang
Kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh murid
untuk memperoleh ijazah. Kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran, mata pelajaran
pada hakekatnya adalah pengalaman nenek moyang masa lampau, pengalaman itu
dipilih, dianalisa, kemudian disusun secara sistematis dan logis. Sehingga
timbullah mata pelajaran seperti : sejarah, ilmu bumi, ilmu hayat dan
sebagainya.
Yang jelas ialah bahwa kurikulum bukanlah buku kurikulum, bukanlah
sekedar dokumen yang dicetak atau distensil. Untuk mengetahui kurikulum
sekolah, tidak cukup mempelajari buku kurikulumnya saja, melainkan juga apa
yang terjadi disekolah, dalam kelas, diluar kelas, kegiatankegiatan di lapangan
olah raga, di aula dan sebagainya.
Oleh karena itu, kurikulum harus di tata atau di atur sebaik mungkin
agar hasil yang diperolehpun juga bisa maksimal.
B Rumusan masalah
Apa pengertian kurikulum secara terminologis ?
Apa saja prinsip-prinsip kurikulum kurikulum ?
Apa asas-asas kuriulum ?
Apa kriteria kurikulum ?
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Kurikulum
Dan Kami telah
turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Secara
etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang artinya jarak yang harus ditempuh oleh
pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olehraga. Berdasarkan
pengertian ini, dalam konteksnya dengan dunia pendidikan menjadi “circle of
instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat
didalamnya.[1]
Dalam
kosa kata Arab, istilah kurikulum dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh
manusia pada berbagai bidang kehidupannya. Apabila pengertian ini dikaitkan
dengan pendidikan, maka manhaj atau kurikulum berarti jalan terang yang dilalui
pendidik atau guru dengan orang-orang yang dididik untuk mengembangkan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka.[2]
Istilah kurikulum pertama kali muncul dalam kamus Webster pada tahun 1856.
Kurikulum berasal dari bahasa Latin, yakni kata currerre. Currerre adalah kata
kerja yang berarti:
a. Berlari cepat
b.Tergesa-gesa
c. Menjalani
Dari kata kerja
currerre dijadikan kata benda menjadi curriculum yang berarti:
a. Tempat berlari atau tempat perlobaan atau balapan atau
lapangan perlombaan (a place for running)
b.Jarak
yang harus ditempuh dalam perlombaan atau balapan (a race course)
c. Kereta pacu yang membawa seseorang dari start ke finish
(chariot)[3]
Istilah kurikulum yang berasal dari bahasa latin curriculum
semula berarti a running, or race course, dan terdapat pula dalam bahasa
perancis courier artinya to run, berlari. Kemudian istilah itu
digunakan untuk sejumlah course atau mata pelajaran yang harus
ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah.
Seperti halnya dengan istilah-istilah lain yang banyak digunakan
kurikulum, juga mengalami perkembangan dan tafsiran yang berbagai ragam. Hampir
setiap ahli kurikulum mempunyai rumusan sendiri, walaupun diantara berbagai
definisi itu terdapat aspek-aspek persamaan. Secara tradisional, kurikulum
diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan disekolah. Pengertian kurikulum
yang dianggap tradisional ini masih banyak dianut sampai sekarang, termasuk di
Indonesia.
Saylor dan Alexander merumuskan kurikulum sebagai the total effortof
the school situations (Saylor. 1956 h. 3). Definisi ini jelas lebih luas
dari pada sekadar meliputi mata pelajaran, yaitu segala uasaha sekolah untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu, kurikulum tidak hanya mengenai
situasi didalam sekolah, tetapi juga diluar sekolah.
Hilda Taba menekankan bahwa definisi kurikulum hendaknya jangan
terlampau luas sehingga menjadi kabur dan tak fungsional. Ia berpendirian bahwa
kurikulum ialah a plan for learning. Pengembangan kurikulum harus tahu
tujuan apa yang dapat tercapai dalam kondisi yang bagaimana, sehingga tercapai
proses belajar yang efektif.
Dipihak lain, kurikulukum jangan pula terlampau sempit tafsirannya.
Luasnya pengertian kurikulum anatara lain disebabkan kian bertambahnya tugas
yang dibebankan kepada sekolah, bahkan juga tugas yang semula dipikul oleh
badan-badan lain. Bukankah agama termasuk tanggung jawab gereja, masjid, orang
tua, atau lembaga lainnya? Demikian pula kesehatan merupakan tanggung jawab
para dokter, ketertiban lalu lintas tugas polisi, PKK temasuk masak-memasak dan
urusan rumah tangga lainnya merupakan tanggung jawab orang tua dan sebagainya.
Kini semua tugas itu harus dipikul oleh sekolah. Karena banyaknya tanggung
jawab yang dibebankan kepada sekolah dan beban ini kian hari kian bertambah
lagi seperti pelestarian alam KB, narkotika, dan sebagainya, maka ada golongan
tertentu berpendirian, tak satupun tugas yang dapat dilakukannya dengan baik.
Karena itu golongan ini menginginkan agar tugas sekolah dibatasi pada tugas
sekolah yang utama yakni pendidikan intelektual. Kebanyakan orang tua tidak
mampu melakukan tugas ini.
Pada prinsipnya, tak banyak pendidik yang menerima definisi kurikulum
yang sempit itu karena manusia senantiasa merupakan kebulatan yang mengandung
aspek kognitif (intelektual), afektif (perasaan) maupun psiko-motor
(keterampilan). Anak harus dibina secara keseluruhan.
A.
Prinsip-prinsip Kurikulum
Salah satu komponen pendidikan sebagai
suatu sistem adalah materi. Materi pendidikan ialah semua bahan pelajaran yang
disampaikan kepada peserta didik dalam suatu sistem institusional pendidikan.
Materi pendidikan ini lebih dikenal dengan istilah kurikulum. Sedangkan
kurikulum menunjuk pada materi yang sebelumnya telah disusun secara sistematis
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Prof. H. M. Arifin M.Ed, mengemukakan
bahwa prinsip-prinsip yang harus diperhatikan pada waktu menyusun kurikulum
mencakup empat macam, yaitu:
1. Kurikulum
pendidikan yang sejalan dengan idealitas islami adalah kurikulum yang
mengandung materi (bahan) ilmu pengetahuan yang mampu berfungsi sebagai alat
untuk tujuan hidup islami.
2. Untuk berfungsi
sebagai alat yang efektif mencapai tujuan tersebut, kurikulum harus mengandung
tata nilai islami yang intrinsik dan ekstrinsik mampu merealisasikan tujuan
pendidikan islam.
3. Kurikulum yang
bercirikan islami itu diproses melalui metode yang sesuai dengan nilai yang
terkandung didalam tujuan pendidikan islam.
4. Antara kurikulum, metode dan tujuan pendidikan
islam harus saling berkaitan produk yang bercita-cita menurut ajaran islam.
Kurikulum pendidikan islam merupakan salah
satu komponen yang penting dalam proses pendidikan islam. Kekeliruan dalam
penyusunan kurikulum, menyebabkan ahli pendidikan mengemukakan berbagai macam
ketentuan guna penyusunan kurikulum itu.
Imam Al-Ghazali menyatakan ilmu-ilmu
pengetahuan yang harus dijadikan bahan kurikulum lembaga pendidikan yaitu:
a.
Ilmu-ilmu yang fardlu ‘ain yang wajiib dipelajari oleh
semua orang islam meliputi ilmu-ilmu agama yakni ilmu yang bersumber dari kitab
suci Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b.
Ilmu-ilmu yang merupakan fardlu kifayah, terdiri dari
ilmu-ilmu yang dapat dimanfaatkan untuk memudahkan urusanhidup duniawi, seperti
ilmu hitung (matematika), ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian dan
industri.
Dari kedua kategori ilmu-ilmu tersebut,
Al-Ghazali merinci lagi menjadi:
a.
Ilmu-ilmu Al-qur’an dan ilmu agama seperti fiqih, hadits
dan tafsir.
b.
Ilmu bahasa, seperti ilmu saraf, makhraj dan
lafal-lafalnya yang membantu ilmu agama.
c.
Ilmu-ilmu yang fardhu kifayah, terdiri dari berbagai ilmu
yang memudahkan urusan kehidupan duniawi seperti ilmu kedokteran, matematika,
teknologi (yang beraneka macam jenisnya), ilmu politik dan lain-lain.
d.
Ilmu kebudayaan, seperti syair, sejarah dan beberapa
cabang filsafat.
Ibnu Sina memberikan klasifikasi ilmu
pengetahuan untuk diajarkan kepada anak didik dalam 2 macam, yaitu:
a. Ilmu nadari atau ilmu teoritis, yang termasuk dalam
jenis ini ialah ilmu alam, ilmu riyadi (ilmu matematika), ilmu ilahi yaitu ilmu
yang mengandung iktibar tentang maujud dari alam dan isinya yang dianalisis
secara jujur dan jelas.
b.Ilmu-ilmu amali (praktis) yang terdiri dari beberapa
ilmu pengetahuan yang prinsip-prinsipnya berdasarkan atas sasaran-sasaran
analisisnya. Misalnya ilmu yang menganalisis tentang perilaku manusia dilihat
dari aspek sosial, maka timbul ilmu siasah (ilmu politik).
Ibnu Kholdun menyatakan ilmu pengetahuan
yang harus dijadikan materi kurikulum lembaga pendidikan islam mencakup 3 hal,
yaitu:
a.
Ilmu lisan (bahasa) yang terdiri dari ilmu lughah, nahwu
sharaf, balaghah, ma’ani bayan, adab (sastra) atau syair-syair.
b.
Ilmu naqli yaitu ilmu-ilmu yang dinukil dari kitab suci
Al-Qur’an dan sunnah nabi. Ilmu ini terdiri dari ilmu membaca (qiraah)
Al-Qur’an dan ilmu tafsir, sanad-sanad hadits, dan lain-lain.
c.
Ilmu aqli adalah ilmu yang dapat meunjukkan manusia
melalui daya kemampuan berpikirnya kepada filsafat dan semua jenis ilmu mantiq,
ilmu alam, ilmu ketuhanan (teologi), lmu teknik, ilmu hitung, ilmu tentang
tingkah laku manusia, ilmu sihir dan nujum (kedua ilmu ini adalah fasid yang
batil, yang terlarang untuk dijadikan mata pelajaran karena berlawanan dengan
ilmu tauhid.
Bila dilihat urgensinya, bagi pelajar
(murid) maka Ibnu Khaldun memberikan pembagian ilmu pengetahuan tersebut secara
kurikuler sebagai berikut:
a.Ilmu syariah dengan semua jenisnya.
b.Ilmu filsafat, termasuk ilmu alam dan ketuhanan.
c. Ilmu alat yang
bersifat membantu ilmu-ilmu agama, seperti lughah dan lain-lain.
d.Ilmu alat yang membantu falsafah, seperti ilmu
mantiq (logika).
Ismail Al-Faruqi, menegaskan tentang
kesatuan ilmu pengetahuan islam sebagai berikut bahwa untuk mencapai kebenaran,
tak ada suatu yang lain dari pada mempelajari (membaca atau mengamati) alam
secara cerdas (kritis) melalui laporan dan percobaaan ilmiah atau mempelajari
(membaca) wahyu Tuhan didalam kitab suci-Nya. Tuhan adalah pencipta keduanya
(alam dan wahyu) dan kedua ciptaan-Nya itu bersifat terbuka (untuk umum) yang
tak menarik perhatian kepada kemampuan apapun melainkan penalaran akal pikiran
dan pemahaman.
Agar jalan yang ditempuh oleh pendidik dan
peserta didikdapat berjalan mulus untuk menuju kepada cita-cita pendidikan,
yaitu terbentuk kepribadian muslim atau insan kail yang diridhoi Tuhan, orang
harus meniti jalan serta melihat kompas antara lain firman-firman Allah sebagai
berikut:
Artinya:
“Sebagaimana (Kami telah
menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul
diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu
dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu
apa yang belum kamu ketahui.” (QS.
Al-Baqarah : 151)
Dengan ilmu pengetahuan dan hikmah yang telah diajarkan
kepada manusia, maka timbullah dalam dirinya suatu kesadaran bahwa ia adalah
makhluk Allah yang wajib menyembah kepada-Nya. Ibadah kepada-Nya merupakan
salah satu bentuk manifestasi dari sikap berilmu dan beriman, sehingga manusia
muslim dari hasil pendidikannya tetap akan mematuhi perintah Allah. Allah SWT
berfirman:
þÎTrãä.ø$$sù
öNä.öä.ør&
(#rãà6ô©$#ur
Í<
wur
Èbrãàÿõ3s?
ÇÊÎËÈ
Artinya :
karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya
aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
B. Asas-Asas Kurikulum
Suatu
kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan Islam, hendaknya mengandung beberapa
unsur utama seperti tujuan, isi mata pelajaran, metode mengajar, dan metode
penilaian.[4]Kesemuaannya
harus tersusun dan mengacu pada suatu sumber kekuatan yang menjadi landasan
dalam pembentukannya. Sumber-sumber tersebut dikatakan sebagai asas-asas
pembentukan kuriulum pendidikan.
Menurut
mohammad al Thoumy al Syaibany,[5]asas-asa
umum yang menjadi landasan pembentukan kurikulum dalam pendidikan Islam adalah:
Asas Agama
Seluruh
sistem yang ada dalam masyarakat Islam, termasuk sistem pendidikannya harus
meletakan dasar falsafah, tujuan, dan kurikulumnya pada ajaran Islam yang
meliputi aqidah, ibadah dan muamalah. Hal ini bermakna bahwa itu semua pada
akhirnya harus mengacu pada dua sumber utama syariat Islam, yaitu al-Qur’an dan
as-Sunnah. Sementara sumber lainnya sering dikategorikan sebagai metode seperti
ijma, qiyas dan ihtisan.
Pembentukan
kurikulum pendiidkan Islam harus diletakan pada apa yang telah digariskan oleh
2 sumber tersebut dalam rangka menciptakan mausia yang bertaqwa sebagai ‘abid
dan khalifah dimuka bumi.
Asas Falsafah
Dasar
ini memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam, dengan dasar filosofis,
sehingga susunan kurikulum pendidikan Islam mengandung suatu kebenaran,
terutama dari sisi nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini
kebenarannya. Secara umum, dasar falsafah ini membawa konsekwensi bahwa rumusan
kurikulum pendidikan Islam harus beranjak dari konsep ontologi, epistemologi dan
aksiologi yang digali dari pemikiran manusia muslim, yang sepenuhnya tidak
bertentangan dengan nilai-nilai asasi ajaran Islam.
Asas Psikologis
Asas
ini memberi arti bahwa kurikulum pendidikan Islam hendaknya disusun dengan
mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui anak
didik. Kurikulum pendidikan Islam harus dirancang sejalan dengan ciri-ciri
perkembangan anak didik, tahap kematangan bakat-bakat jasmani, intelektual,
bahasa, emosi dan sosial, kebutuhan dan minat, kecakapan dan perbedaan
individual dan aspek lainnya yang berhubungan dengan aspek-aspek psikologis.
Asas Sosial
Pembentukan
kurikulum pendidikan Islam harus mengacu ke arah realisasi individu dalam
masyarakat. Pola yang demikian ini berarti bahwa semua kecenderungan dan
perubahan yang telah dan bakal terjadi dalam perkembangan masyarakat manusia
sebagai mahluk sosial harus mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan Islam.
Hal ini dimaksudkan agar out-put yang diahasilkan menjadi manusia yang mampu
mengambil peran dalam masyarakat dan kebudayaan dalam konteks kehidupan
zamannya.
Keempat
asas tersebut di atas harus dijadikan landasan dalam pembentukan kurikulum
pendidikan Islam. Perlu ditekankan bahwa antara satu asas dengan asas lainnya
tidaklah berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus merupakan suatu kesatuan yang
utuh sehingga dapat membentuk kurikulum pendidikan Islam yang terpadu, yaitu
kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pengembangan anak didik dalam unsur
ketauhidan, keagamaan, pengembangan potensinya sebagai khalifah, pengembangan
kepribadiannya sebagai individu dan pengembangannya dalam kehidupan sosial.
C. Kriteria Kurikulum Pendidikan Islam
Berdasarkan
pada asas-asas tersebut, maka kurikulum pendidikan Islam menurut An Nahlawi.[6] harus pula memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a. Sistem dan perkembangan
kurikulum hendaknya selaras dengan fitrah insani sehingga
memiliki peluang untuk mensucikannya, dan menjaganya dari penyimpangan dan
menyelamatkannya.
b. Kurikulum hendaknya diarahkan untuk
mencapai tujuan akhir pendidikan Islam, yaitu ikhlas, taat beribadah kepada
Allah, disamping merealisasikan tujuan aspek psikis, fisik, sosial, budaya
maupun intelektual.
c. Pentahapan serta
pengkhususan kurikulum hendaknya memperhatikan periodesasi perkembangan peserta
didik maupun unisitas (kekhasan) terutama karakteristik anak-anak dan jenis
kelamin.
d. Dalam berbagai
pelaksanaan, aktivitas, contoh dan nash yang ada dalam kurikulum harus
memelihara kebutuhan nyata kahidupan masyarakat dengan tatap bertopang pada
cita ideal Islami, seperti tasa syukur dan harga diri sebagai umat Islam.
e. Secara keseluruhan
struktur dan organisasai kurikulum hendaknya tidak bertentangan dan tidak
menimbulkan pertentngan dengan polah hidup Islami.
f. Hendaknya kurikulum bersifat
realistik atau dapat dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi dalam
kehidupan negara tertentu.
g. Hendaknya metoda
pendidikan atau pengajaran dalam kurikulum bersifat luwes sehingga dapat
disesuaikan berbagai situasi dan kondisi serta perbedaan individual dalam
menangkap dan mengolah bahan pelajaran.
h. Hendaknya kurikulum itu
efektif dalam arti berisikan nilai edukatif yang dapat membentuk afektif
(sikap) Islami dalam kepribadian anak.
i. Kurikulum harus memperhatikan
aspek-aspek tingkah laku amaliah Islami, seperti pendidikan untuk berjihad dan
dakwah Islamiyah serta membangun masyarakat muslim dilingkungan sekolah.
Kurikulum pendidikan islam di Indonesia
Pendidikan
islam formal di Indonesia secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
macam, yaitu: sistem madrasah dan sistem pondok pesantren.
Sistem madrasah terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu:
a.
Madrasah diniyah
b.
Madrasah
c.
Al-jamiyah
Madrasah
diniyah artinya adalah sekolah agama sesuai dengan namanya maka sekolah ini
diajarkan pelajaran-pelajaran agama. Madrasah ini memiliki 3 (tiga) tingkat:
1)
Madrasah diniyah
awaliyah yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran
agama islam tingkat permulaan, masa belajar 4 tahun.
2)
Madrasah diniyah
wustha ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama
islam tingkat pertama. Lama belajarnya 2 tahun.
3)
Madrasah diniyah
ulya ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama
islam tingkat lanjutan atas, masa belajarnya 2 tahun. Lembaga pendidikan ini
didirikan dengan tujuan untuk menutupi kebutuhan anak-anak usia sekolah dasar
yang merasa kekuranganpendidika dan pengajaran agama islam sewaktu ia duduk
dibangku sekolah.
Sehubungan
dengan itu, mata pelajaran-mata pelajaran yang diberikan dimadrasah ini adalah:
a.
Al-Qur’an, tafsir,
dan tajwid, ilmu tafsir
b.
Hadits, ilmu hadits
c.
Tauhid / akidah
d.
Fiqih, usul fiqih
e.
Tarikh
f.
Bahasa arab
g.
Akhlaq
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Secara
etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang artinya jarak yang harus ditempuh oleh
pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olehraga. Berdasarkan
pengertian ini, dalam konteksnya dengan dunia pendidikan menjadi “circle of
instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat
didalamnya.
Istilah kurikulum yang berasal dari bahasa latin curriculum
semula berarti a running, or race course, dan terdapat pula dalam bahasa
perancis courier artinya to run, berlari. Kemudian istilah itu
digunakan untuk sejumlah course atau mata pelajaran yang harus
ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah.
Seperti halnya dengan istilah-istilah lain yang banyak digunakan
kurikulum, juga mengalami perkembangan dan tafsiran yang berbagai ragam. Hampir
setiap ahli kurikulum mempunyai rumusan sendiri, walaupun diantara berbagai
definisi itu terdapat aspek-aspek persamaan. Secara tradisional, kurikulum
diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan disekolah. Pengertian kurikulum
yang dianggap tradisional ini masih banyak dianut sampai sekarang, termasuk di
Indonesia.
Pada dasarnya, tak banyak pendidik yang menerima definisi kurikulum yang
sempit itu karena manusia senantiasa merupakan kebulatan yang mengandung aspek
kognitif (intelektual), afektif (perasaan) maupun psiko-motor (keterampilan).
Anak harus dibina secara keseluruhan.
Daftar Pustaka
Mandalika J. Mulyadi, Usman. Dasar-Dasar Kurikulum. (surabaya :
SIC. 1995)Al-Syaibani, Omar Muhammad Al-Thoumy. Falsafah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang. 1979)
An Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. (Bandung: CV Dipenogoro. 1992)
Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Aksara. 1990)
Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. I. (Jakarta: Bumi Aksara. 1991).
Langgulung, Hasan. Azas-Azas Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Al Husna. 1992)
Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim; pengantar filsafat pendidikan Islam dan Dakwah. (Yogyakarta: Sippres. 1993)
Nasution, S. Pengembangan Kurikulum. Cet. IV. ( Bandung: Citra Adirya Sakti. 1991).
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam 1. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997)
Nizar, Samsul dan Al Rasyid. Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis. (Jakarta: Ciputat Press. 2005)
Syam, Mohammad Noor. Falsafah Pendidikan Pancasila. (Surabaya: Usaha Nasional. 1996)
[1] Al Rasyid dan Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis
Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2005),55
[2] Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 478
[5] Omar Muhammad
Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979) 523
[6] Abdurrahman An
Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung:
CV Dipenogoro, 1992),273
Tidak ada komentar:
Posting Komentar