TABS

Sabtu, 15 September 2012

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM, TINJAUAN FILOSOFIS TENTANG KURIKULUM



BAB I
Pendahuluan


A.     Latar belakang
     Kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh murid untuk memperoleh ijazah. Kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran, mata pelajaran pada hakekatnya adalah pengalaman nenek moyang masa lampau, pengalaman itu dipilih, dianalisa, kemudian disusun secara sistematis dan logis. Sehingga timbullah mata pelajaran seperti : sejarah, ilmu bumi, ilmu hayat dan sebagainya.
     Yang jelas ialah bahwa kurikulum bukanlah buku kurikulum, bukanlah sekedar dokumen yang dicetak atau distensil. Untuk mengetahui kurikulum sekolah, tidak cukup mempelajari buku kurikulumnya saja, melainkan juga apa yang terjadi disekolah, dalam kelas, diluar kelas, kegiatankegiatan di lapangan olah raga, di aula dan sebagainya.
     Oleh karena itu, kurikulum harus di tata atau di atur sebaik mungkin agar hasil yang diperolehpun juga bisa maksimal.


B Rumusan masalah
Apa pengertian kurikulum secara terminologis ?
Apa saja prinsip-prinsip kurikulum kurikulum ?
Apa asas-asas kuriulum ?
Apa kriteria kurikulum ?





BAB II
Pembahasan

A.  Pengertian Kurikulum
 
     Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
     Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang artinya jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olehraga. Berdasarkan pengertian ini, dalam konteksnya dengan dunia pendidikan menjadi “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya.[1]
     Dalam kosa kata Arab, istilah kurikulum dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupannya. Apabila pengertian ini dikaitkan dengan pendidikan, maka manhaj atau kurikulum berarti jalan terang yang dilalui pendidik atau guru dengan orang-orang yang dididik untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka.[2]
            Istilah kurikulum pertama kali muncul dalam kamus Webster pada tahun 1856. Kurikulum berasal dari bahasa Latin, yakni kata currerre. Currerre adalah kata kerja yang berarti:
a. Berlari cepat
b.Tergesa-gesa
c. Menjalani
   Dari kata kerja currerre dijadikan kata benda menjadi curriculum yang berarti:
a. Tempat berlari atau tempat perlobaan atau balapan atau lapangan perlombaan (a place for running)
b.Jarak yang harus ditempuh dalam perlombaan atau balapan (a race course)
c. Kereta pacu yang membawa seseorang dari start ke finish (chariot)[3]
     Istilah kurikulum yang berasal dari bahasa latin curriculum semula berarti a running, or race course, dan terdapat pula dalam bahasa perancis courier artinya to run, berlari. Kemudian istilah itu digunakan untuk sejumlah course atau mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah.
     Seperti halnya dengan istilah-istilah lain yang banyak digunakan kurikulum, juga mengalami perkembangan dan tafsiran yang berbagai ragam. Hampir setiap ahli kurikulum mempunyai rumusan sendiri, walaupun diantara berbagai definisi itu terdapat aspek-aspek persamaan. Secara tradisional, kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan disekolah. Pengertian kurikulum yang dianggap tradisional ini masih banyak dianut sampai sekarang, termasuk di Indonesia.
     Saylor dan Alexander merumuskan kurikulum sebagai the total effortof the school situations (Saylor. 1956 h. 3). Definisi ini jelas lebih luas dari pada sekadar meliputi mata pelajaran, yaitu segala uasaha sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu, kurikulum tidak hanya mengenai situasi didalam sekolah, tetapi juga diluar sekolah.
     Hilda Taba menekankan bahwa definisi kurikulum hendaknya jangan terlampau luas sehingga menjadi kabur dan tak fungsional. Ia berpendirian bahwa kurikulum ialah a plan for learning. Pengembangan kurikulum harus tahu tujuan apa yang dapat tercapai dalam kondisi yang bagaimana, sehingga tercapai proses belajar yang efektif.
     Dipihak lain, kurikulukum jangan pula terlampau sempit tafsirannya. Luasnya pengertian kurikulum anatara lain disebabkan kian bertambahnya tugas yang dibebankan kepada sekolah, bahkan juga tugas yang semula dipikul oleh badan-badan lain. Bukankah agama termasuk tanggung jawab gereja, masjid, orang tua, atau lembaga lainnya? Demikian pula kesehatan merupakan tanggung jawab para dokter, ketertiban lalu lintas tugas polisi, PKK temasuk masak-memasak dan urusan rumah tangga lainnya merupakan tanggung jawab orang tua dan sebagainya. Kini semua tugas itu harus dipikul oleh sekolah. Karena banyaknya tanggung jawab yang dibebankan kepada sekolah dan beban ini kian hari kian bertambah lagi seperti pelestarian alam KB, narkotika, dan sebagainya, maka ada golongan tertentu berpendirian, tak satupun tugas yang dapat dilakukannya dengan baik. Karena itu golongan ini menginginkan agar tugas sekolah dibatasi pada tugas sekolah yang utama yakni pendidikan intelektual. Kebanyakan orang tua tidak mampu melakukan tugas ini.
      Pada prinsipnya, tak banyak pendidik yang menerima definisi kurikulum yang sempit itu karena manusia senantiasa merupakan kebulatan yang mengandung aspek kognitif (intelektual), afektif (perasaan) maupun psiko-motor (keterampilan). Anak harus dibina secara keseluruhan.

A.     Prinsip-prinsip Kurikulum
      Salah satu komponen pendidikan sebagai suatu sistem adalah materi. Materi pendidikan ialah semua bahan pelajaran yang disampaikan kepada peserta didik dalam suatu sistem institusional pendidikan. Materi pendidikan ini lebih dikenal dengan istilah kurikulum. Sedangkan kurikulum menunjuk pada materi yang sebelumnya telah disusun secara sistematis untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
     Prof. H. M. Arifin M.Ed, mengemukakan bahwa prinsip-prinsip yang harus diperhatikan pada waktu menyusun kurikulum mencakup empat macam, yaitu:
1. Kurikulum pendidikan yang sejalan dengan idealitas islami adalah kurikulum yang mengandung materi (bahan) ilmu pengetahuan yang mampu berfungsi sebagai alat untuk tujuan hidup islami.
2. Untuk berfungsi sebagai alat yang efektif mencapai tujuan tersebut, kurikulum harus mengandung tata nilai islami yang intrinsik dan ekstrinsik mampu merealisasikan tujuan pendidikan islam.
3. Kurikulum yang bercirikan islami itu diproses melalui metode yang sesuai dengan nilai yang terkandung didalam tujuan pendidikan islam.
4. Antara kurikulum, metode dan tujuan pendidikan islam harus saling berkaitan produk yang bercita-cita menurut ajaran islam.
     Kurikulum pendidikan islam merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses pendidikan islam. Kekeliruan dalam penyusunan kurikulum, menyebabkan ahli pendidikan mengemukakan berbagai macam ketentuan guna penyusunan kurikulum itu.
     Imam Al-Ghazali menyatakan ilmu-ilmu pengetahuan yang harus dijadikan bahan kurikulum lembaga pendidikan yaitu:
a.      Ilmu-ilmu yang fardlu ‘ain yang wajiib dipelajari oleh semua orang islam meliputi ilmu-ilmu agama yakni ilmu yang bersumber dari kitab suci Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b.      Ilmu-ilmu yang merupakan fardlu kifayah, terdiri dari ilmu-ilmu yang dapat dimanfaatkan untuk memudahkan urusanhidup duniawi, seperti ilmu hitung (matematika), ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian dan industri.
  Dari kedua kategori ilmu-ilmu tersebut, Al-Ghazali merinci lagi menjadi:
a.      Ilmu-ilmu Al-qur’an dan ilmu agama seperti fiqih, hadits dan tafsir.
b.      Ilmu bahasa, seperti ilmu saraf, makhraj dan lafal-lafalnya yang membantu ilmu agama.
c.       Ilmu-ilmu yang fardhu kifayah, terdiri dari berbagai ilmu yang memudahkan urusan kehidupan duniawi seperti ilmu kedokteran, matematika, teknologi (yang beraneka macam jenisnya), ilmu politik dan lain-lain.
d.      Ilmu kebudayaan, seperti syair, sejarah dan beberapa cabang filsafat.
     Ibnu Sina memberikan klasifikasi ilmu pengetahuan untuk diajarkan kepada anak didik dalam 2 macam, yaitu:
a. Ilmu nadari atau ilmu teoritis, yang termasuk dalam jenis ini ialah ilmu alam, ilmu riyadi (ilmu matematika), ilmu ilahi yaitu ilmu yang mengandung iktibar tentang maujud dari alam dan isinya yang dianalisis secara jujur dan jelas.
b.Ilmu-ilmu amali (praktis) yang terdiri dari beberapa ilmu pengetahuan yang prinsip-prinsipnya berdasarkan atas sasaran-sasaran analisisnya. Misalnya ilmu yang menganalisis tentang perilaku manusia dilihat dari aspek sosial, maka timbul ilmu siasah (ilmu politik).
     Ibnu Kholdun menyatakan ilmu pengetahuan yang harus dijadikan materi kurikulum lembaga pendidikan islam mencakup 3 hal, yaitu:
a.         Ilmu lisan (bahasa) yang terdiri dari ilmu lughah, nahwu sharaf, balaghah, ma’ani bayan, adab (sastra) atau syair-syair.
b.         Ilmu naqli yaitu ilmu-ilmu yang dinukil dari kitab suci Al-Qur’an dan sunnah nabi. Ilmu ini terdiri dari ilmu membaca (qiraah) Al-Qur’an dan ilmu tafsir, sanad-sanad hadits, dan lain-lain.
c.          Ilmu aqli adalah ilmu yang dapat meunjukkan manusia melalui daya kemampuan berpikirnya kepada filsafat dan semua jenis ilmu mantiq, ilmu alam, ilmu ketuhanan (teologi), lmu teknik, ilmu hitung, ilmu tentang tingkah laku manusia, ilmu sihir dan nujum (kedua ilmu ini adalah fasid yang batil, yang terlarang untuk dijadikan mata pelajaran karena berlawanan dengan ilmu tauhid.

     Bila dilihat urgensinya, bagi pelajar (murid) maka Ibnu Khaldun memberikan pembagian ilmu pengetahuan tersebut secara kurikuler sebagai berikut:
a.Ilmu syariah dengan semua jenisnya.
b.Ilmu filsafat, termasuk ilmu alam dan ketuhanan.
c. Ilmu alat yang bersifat membantu ilmu-ilmu agama, seperti lughah dan lain-lain.
d.Ilmu alat yang membantu falsafah, seperti ilmu mantiq (logika).

     Ismail Al-Faruqi, menegaskan tentang kesatuan ilmu pengetahuan islam sebagai berikut bahwa untuk mencapai kebenaran, tak ada suatu yang lain dari pada mempelajari (membaca atau mengamati) alam secara cerdas (kritis) melalui laporan dan percobaaan ilmiah atau mempelajari (membaca) wahyu Tuhan didalam kitab suci-Nya. Tuhan adalah pencipta keduanya (alam dan wahyu) dan kedua ciptaan-Nya itu bersifat terbuka (untuk umum) yang tak menarik perhatian kepada kemampuan apapun melainkan penalaran akal pikiran dan pemahaman.
     Agar jalan yang ditempuh oleh pendidik dan peserta didikdapat berjalan mulus untuk menuju kepada cita-cita pendidikan, yaitu terbentuk kepribadian muslim atau insan kail yang diridhoi Tuhan, orang harus meniti jalan serta melihat kompas antara lain firman-firman Allah sebagai berikut:

Artinya:
     Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah : 151)

Dengan ilmu pengetahuan dan hikmah yang telah diajarkan kepada manusia, maka timbullah dalam dirinya suatu kesadaran bahwa ia adalah makhluk Allah yang wajib menyembah kepada-Nya. Ibadah kepada-Nya merupakan salah satu bentuk manifestasi dari sikap berilmu dan beriman, sehingga manusia muslim dari hasil pendidikannya tetap akan mematuhi perintah Allah. Allah SWT berfirman:
þÎTrãä.øŒ$$sù öNä.öä.øŒr& (#rãà6ô©$#ur Í< Ÿwur Èbrãàÿõ3s? ÇÊÎËÈ   
Artinya :
 karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.

B.       Asas-Asas Kurikulum
     Suatu kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan Islam, hendaknya mengandung beberapa unsur utama seperti tujuan, isi mata pelajaran, metode mengajar, dan metode penilaian.[4]Kesemuaannya harus tersusun dan mengacu pada suatu sumber kekuatan yang menjadi landasan dalam pembentukannya. Sumber-sumber tersebut dikatakan sebagai asas-asas pembentukan kuriulum pendidikan.
     Menurut mohammad al Thoumy al Syaibany,[5]asas-asa umum yang menjadi landasan pembentukan kurikulum dalam pendidikan Islam adalah:
Asas Agama
     Seluruh sistem yang ada dalam masyarakat Islam, termasuk sistem pendidikannya harus meletakan dasar falsafah, tujuan, dan kurikulumnya pada ajaran Islam yang meliputi aqidah, ibadah dan muamalah. Hal ini bermakna bahwa itu semua pada akhirnya harus mengacu pada dua sumber utama syariat Islam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sementara sumber lainnya sering dikategorikan sebagai metode seperti ijma, qiyas dan ihtisan.
     Pembentukan kurikulum pendiidkan Islam harus diletakan pada apa yang telah digariskan oleh 2 sumber tersebut dalam rangka menciptakan mausia yang bertaqwa sebagai ‘abid dan khalifah dimuka bumi.
Asas  Falsafah
     Dasar ini memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam, dengan dasar filosofis, sehingga susunan kurikulum pendidikan Islam mengandung suatu kebenaran, terutama dari sisi nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini kebenarannya. Secara umum, dasar falsafah ini membawa konsekwensi bahwa rumusan kurikulum pendidikan Islam harus beranjak dari konsep ontologi, epistemologi dan aksiologi yang digali dari pemikiran manusia muslim, yang sepenuhnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai asasi ajaran Islam.
Asas Psikologis
     Asas ini memberi arti bahwa kurikulum pendidikan Islam hendaknya disusun dengan mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui anak didik. Kurikulum pendidikan Islam harus dirancang sejalan dengan ciri-ciri perkembangan anak didik, tahap kematangan bakat-bakat jasmani, intelektual, bahasa, emosi dan sosial, kebutuhan dan minat, kecakapan dan perbedaan individual dan aspek lainnya yang berhubungan dengan aspek-aspek psikologis.
Asas Sosial
     Pembentukan kurikulum pendidikan Islam harus mengacu ke arah realisasi individu dalam masyarakat. Pola yang demikian ini berarti bahwa semua kecenderungan dan perubahan yang telah dan bakal terjadi dalam perkembangan masyarakat manusia sebagai mahluk sosial harus mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan Islam. Hal ini dimaksudkan agar out-put yang diahasilkan menjadi manusia yang mampu mengambil peran dalam masyarakat dan kebudayaan dalam konteks kehidupan zamannya.
     Keempat asas tersebut di atas harus dijadikan landasan dalam pembentukan kurikulum pendidikan Islam. Perlu ditekankan bahwa antara satu asas dengan asas lainnya tidaklah berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus merupakan suatu kesatuan yang utuh sehingga dapat membentuk kurikulum pendidikan Islam yang terpadu, yaitu kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pengembangan anak didik dalam unsur ketauhidan, keagamaan, pengembangan potensinya sebagai khalifah, pengembangan kepribadiannya sebagai individu dan pengembangannya dalam kehidupan sosial.

C.      Kriteria Kurikulum Pendidikan Islam
     Berdasarkan pada asas-asas tersebut, maka kurikulum pendidikan Islam menurut An Nahlawi.[6] harus pula memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Sistem dan perkembangan kurikulum hendaknya selaras dengan fitrah insani sehingga memiliki peluang untuk mensucikannya, dan menjaganya dari penyimpangan dan menyelamatkannya.
b. Kurikulum hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan akhir pendidikan Islam, yaitu ikhlas, taat beribadah kepada Allah, disamping merealisasikan tujuan aspek psikis, fisik, sosial, budaya maupun intelektual.
c. Pentahapan serta pengkhususan kurikulum hendaknya memperhatikan periodesasi perkembangan peserta didik maupun unisitas (kekhasan) terutama karakteristik anak-anak dan jenis kelamin.
d. Dalam berbagai pelaksanaan, aktivitas, contoh dan nash yang ada dalam kurikulum harus memelihara kebutuhan nyata kahidupan masyarakat dengan tatap bertopang pada cita ideal Islami, seperti tasa syukur dan harga diri sebagai umat Islam.
e. Secara keseluruhan struktur dan organisasai kurikulum hendaknya tidak bertentangan dan tidak menimbulkan pertentngan dengan polah hidup Islami.
f. Hendaknya kurikulum bersifat realistik atau dapat dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi dalam kehidupan negara tertentu.    
g. Hendaknya metoda pendidikan atau pengajaran dalam kurikulum bersifat luwes sehingga dapat disesuaikan berbagai situasi dan kondisi serta perbedaan individual dalam menangkap dan mengolah bahan pelajaran.
h. Hendaknya kurikulum itu efektif dalam arti berisikan nilai edukatif yang dapat membentuk afektif (sikap) Islami dalam kepribadian anak.
i. Kurikulum harus memperhatikan aspek-aspek tingkah laku amaliah Islami, seperti pendidikan untuk berjihad dan dakwah Islamiyah serta membangun masyarakat muslim dilingkungan sekolah.

Kurikulum pendidikan islam di Indonesia
         Pendidikan islam formal di Indonesia secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: sistem madrasah dan sistem pondok pesantren.
Sistem madrasah terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu:
a.       Madrasah diniyah
b.      Madrasah
c.       Al-jamiyah
         Madrasah diniyah artinya adalah sekolah agama sesuai dengan namanya maka sekolah ini diajarkan pelajaran-pelajaran agama. Madrasah ini memiliki 3 (tiga) tingkat:
1)      Madrasah diniyah awaliyah yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama islam tingkat permulaan, masa belajar 4 tahun.
2)      Madrasah diniyah wustha ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama islam tingkat pertama. Lama belajarnya 2 tahun.
3)      Madrasah diniyah ulya ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama islam tingkat lanjutan atas, masa belajarnya 2 tahun. Lembaga pendidikan ini didirikan dengan tujuan untuk menutupi kebutuhan anak-anak usia sekolah dasar yang merasa kekuranganpendidika dan pengajaran agama islam sewaktu ia duduk dibangku sekolah.
     Sehubungan dengan itu, mata pelajaran-mata pelajaran yang diberikan dimadrasah ini adalah:
a.       Al-Qur’an, tafsir, dan tajwid, ilmu tafsir
b.      Hadits, ilmu hadits
c.       Tauhid / akidah
d.      Fiqih, usul fiqih
e.       Tarikh
f.       Bahasa arab
g.      Akhlaq






BAB III
Penutup
Kesimpulan
     Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang artinya jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olehraga. Berdasarkan pengertian ini, dalam konteksnya dengan dunia pendidikan menjadi “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya.
     Istilah kurikulum yang berasal dari bahasa latin curriculum semula berarti a running, or race course, dan terdapat pula dalam bahasa perancis courier artinya to run, berlari. Kemudian istilah itu digunakan untuk sejumlah course atau mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah.
     Seperti halnya dengan istilah-istilah lain yang banyak digunakan kurikulum, juga mengalami perkembangan dan tafsiran yang berbagai ragam. Hampir setiap ahli kurikulum mempunyai rumusan sendiri, walaupun diantara berbagai definisi itu terdapat aspek-aspek persamaan. Secara tradisional, kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan disekolah. Pengertian kurikulum yang dianggap tradisional ini masih banyak dianut sampai sekarang, termasuk di Indonesia.
      Pada dasarnya, tak banyak pendidik yang menerima definisi kurikulum yang sempit itu karena manusia senantiasa merupakan kebulatan yang mengandung aspek kognitif (intelektual), afektif (perasaan) maupun psiko-motor (keterampilan). Anak harus dibina secara keseluruhan.








Daftar Pustaka
     Mandalika J. Mulyadi, Usman. Dasar-Dasar Kurikulum. (surabaya : SIC. 1995)
     Al-Syaibani, Omar Muhammad Al-Thoumy. Falsafah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang. 1979)
     An Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan  Islam. (Bandung: CV Dipenogoro. 1992)
     Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Aksara. 1990)
    Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. I.  (Jakarta: Bumi Aksara. 1991).
     Langgulung, Hasan. Azas-Azas Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Al Husna. 1992)
     Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim; pengantar filsafat pendidikan Islam dan Dakwah. (Yogyakarta: Sippres. 1993)
     Nasution, S. Pengembangan Kurikulum. Cet. IV. ( Bandung: Citra Adirya Sakti. 1991).
     Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam 1. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997)
     Nizar, Samsul dan Al Rasyid. Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis. (Jakarta: Ciputat Press. 2005)
     Syam, Mohammad Noor. Falsafah Pendidikan Pancasila. (Surabaya: Usaha Nasional. 1996)


[1]  Al Rasyid dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2005),55
[2] Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 478
[3] Mandalika J. Mulyadi, Usman. Dasar-Dasar Kurikulum. (surabaya : SIC. 1995)

[4] Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1992),304
[5] Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) 523

[6] Abdurrahman An Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan  Islam, (Bandung: CV Dipenogoro, 1992),273